Selasa, 22 Januari 2008

Mengenang Duel Fischer-Spassky


Saya masih mengenang petarungan perebutan gelar juara dunia catur antara Fischer-Spassky di Reyjavik, Iceland, paling tidak karena dua alasan. Alasan pertama pada masa itu saya baru mulai belajar bermain catur.

Ayah mengajak saya bermain catur sejak saya masih kanak-kanak, untuk melupakan tempat kontrakan kumuh yang kami sewa. Saya langsung menyukai permainan ini.

Beberapa waktu kemudian, saya mulai bisa menghargai keindahan permainan ini dengan mengikuti permainan dua maestro catur tingkat dunia itu di majalah Now tahun 1972 saat saya masih duduk di sekolah menengah.

Salah seorang guru yang kelak menjadi sahabat karib saya, Wawel Osorio, mulai mengajar saya bermain catur lebih saintifik. Dan di pojok kantin sekolah kami biasa bermain sambil bertaruh segelas kopi bagi yang menang.

Osorio kerap mengatakan bahwa saya bisa cepat maju dalam permainan catur jika saya mau sedikit berkorban dan menderita. Maka saya berupaya terus belajar dengan cepat. Dan, saya merasa bangga karena akhirnya saya mendapat segelas kopi hangat setelah berhasil mengalahkannya.

Saya lalu mulai membeli buku-buku catur. Termasuk buku-buku yang ditulis Grand Master Filipina pertama, Eugene Tore. Buku-buku catur Tore sudah seperti buku suci. Dengan berjalannya waktu, saya tak lagi dianggap anak ingusan dan mulai diterima di komunitas catur.

Saya juga mengikuti pertandingan antara Fischer-Spassky sama bergairahnya seperti saat saya menonton pertandingan tinju antara Ali-Foreman setahun sebelumnya. Dalam dua peristiwa itu, saya terkesan dengan kemenangan dramatis dari dua orang tokoh olahraga yang menjadi idola hidup saya. Saya jadi teringat kata-kata seorang pecatur dunia: “Hanya ada dua jenis olahraga: catur, dan olahraga lainnya.”

Menonton drama pertandingan Fischer-Spassky sama lamanya seperti halnya menunggu lumut tumbuh di atas bebatuan. Namun Fischer merupakan seorang Mozart catur, seperti halnya Ali seorang Mozart dalam tinju.

Dalam pertandingan itu Fischer tampil brilian dan karismatik. Ia memang seorang anak ajaib yang bisa mengalahkan siapa pun, baik di Amerika Serikat maupun pecatur hebat lainnya di seantero dunia. Raja catur tanpa elu-eluan publik itu berhasil menjotos aparat politik Sovyet atas kemenangannya atas Spassky. Persis di depan publik dunia.

Perebutan juara dunia catur itu berlangsung di Reykyavik sejak bulan Juli hingga September 1972. Pertandingan ini merupakan pertandingan catur yang paling banyak menyedot perhatian publik dunia. Secara khusus, pertandingan itu memang tak semata pertandingan catur. Namun juga mewakili dua kutub yang tengah berseteru hebat dalam era Perang Dingin.

Pertandingan itu karenanya seperti sebuah arena tanding antara kepercayaan pada manusia sebagai individu dan manusia sebagai sebuah kumpulan massa, pertarungan antara manusia melawan mesin, calon juara yang tidak diunggulkan dan juara tetap yang dipuja-puja.

Tak ada yang membantah dominasi Sovyet dalam catur pada masa itu. Selama 35 tahun, pecatur Sovyet memang selalu mendominasi juara dunia catur.

Pertarungan itu sendiri berlangsung hingga nyaris tiga bulan, dan inilah alasan kedua mengapa saya mengenang betul pertandingan itu. Tak seperti era sekarang, dulu tak ada internet yang membuat orang bisa memperoleh hasil pertandingan secara instan. Anda hanya bisa mendapat informasi atas pertarungan dua maestro catur itu melalui media cetak. Ini menjadi masalah karena di negara saya banjir justru terjadi selama bulan Juli-Agustus, sehingga banyak koran tak sampai ke pelanggan karena dihanyutkan banjir.

Maka saya terpaksa berlangganan majalah Now untuk mengikuti tahap-tahap pertandingan tersebut. Selama itu hanya satu edisi yang tak sampai ke rumah karena mobil pengangkut terjeblos ke sungai.

Fischer akhirnya mengalahkan Spassky dan menjadi juara dunia catur yang baru. Namun itu hanyalah permulaan dan bukan akhir. Gelora saya pada permainan catur makin membara setelah menyaksikan pertandingan dramatis tersebut.

Saya lagi-lagi jadi teringat kata mutiara seorang grand master catur : “Catur terlalu serius untuk diangap remeh namun juga terlalu remeh jika harus dianggap sesuatu yang serius.” Karena itu saya memutuskan berhenti bermain catur. Saya merasa tak bisa bermain lebih baik dari orang yang memang berbakat.

Banjir pada bulan Juli-Agustus di Filipina akhirnya berakhir. Bunga-bunga matahari mulai tersenyum lagi. Satu bulan kemudian, Ferdinand Marcos mengumumkan keadaan darurat.

Dan, segalanya terus memburuk sejak saat itu... (Conrado de Quiros, The Philippine Daily Inquirer) ***

Tidak ada komentar: